Selasa, Januari 25, 2011

Penyalak Bukit

Bicara yang menguak kalbu bisu
tidak terdengarkan
walau sepicing waktu
sirna bagai titis yang gugur di pasir
diserap hilang dan kontang.

Penyatuan bukan lagi madu manis
yang melunakkan perjalanan
tetapi kita terbelenggu dengan sinis
tajam hipokrasi yang menghiris
dalam kerikil zaman yang menggerigis.

Kita menjadi tunanetra
untuk menjangkau jauh ke ufuk nista
yang bangun malar tidak rontok
pegun dogma telah berdiri
menabiri segala mandiri
dipasung iri.

Akhirnya kita menjadi tunasusila
pabila mengagungkan antoganis
di jalanan pesta liar telah bangun
dari mimpi konspirasi yang anggun
dalam kolong jiwa yang kosong.

Rencah tunawangsa kini mendidih
melimpah dan melecurkan jari-jari pejuang
tangisan bukan lagi senjata ampuh
tetapi menjadi topeng angkuh
di wajah musuh.

Ketika kita merenung kosong ke langit
kita tidak akan tahu rumput-rumput lekit
diinjak kaki-kaki yang perit
si penyalak bukit.

25/1/2011

5 ulasan:

Tanpa Nama berkata...

Izinkan saya majukan sajak ini kepada kenalan saya

Tanpa Nama berkata...

asalam.mohon saya guna puisi tuan untuk majlis persaraan pengarah saya

Tanpa Nama berkata...

Salam Dr. saya mohon izin untuk menggunakan puisi indah dari Dr. untuk boss saya. Mohon halalkan

Patmah aspar berkata...

Salaam.saya mohon utk membaca puisi tuan di hari persaraan boss fama daerah..cuma tuan saya tukar kps puan.twrima kaseh

Tanpa Nama berkata...

Assalamuailaikum Dr
Mohon saya guna puisi Dr ya
dan halalkan

TRAVELOG JAKARTA BANTUNG DISEMBER 2024

  Pada 8 haribulan Disember saya telah ke Jakarta.   Di Jakarta saya menginap di hotel Dreamtel.   Pada petangnya kami   ke Thamrin City, ke...